"Tanpa identitas tahun dan nama tokoh-tokoh dalam
cerita , Ibnu Quddamah al-Maqdisi, mengisahkan kisah inspiratif dan
menggungah hati. Adalah cerita tentang berislamnya seorang dokter
Nasrani di tangan para jamaah sufi. Kisah yang satu ini menjadi
pamungkas kitab at-Tawwabinkarya Ibnu Quddamah.
Alkisah,
sebanyak 40 orang dari jamaah sufi tengah mengadakan perjalanan religi.
Di daerah sekitar Baghdad, mereka memutuskan untuk berhenti dan menetap
selama tiga hari. Ketika itu, kondisi keuangan rombongan sufi tersebut
sekarat, tak ada bekal yang tersisa. Para sufi itu, harus menetap tanpa
makanan sama sekali.
“Para jamaah, Allah SWT mengizinkan
berikhtiar bagi para hamba. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. (QS al-Mulk [67]: 15). Carilah
sekiranya ada orang yang berempati dan memberi kita makan,” kata salah
seorang yang dituakan dalam rombonngan itu.
Lantas,
berangkatlah salah satu dari mereka berjalan menuju sudut-sudut Kota
Baghdad, berharap ada orang yang beriba dan membantu kesulitan makanan
yang mereka alami. Namun, hasilnya nihil. Utusan itu gagal mencari
makanan bagi para rombongan yang masih berada di luar pusat kota.
Utusan tersebut akhirnya kelaparan dan kelelahan. Kondisi fisiknya
melemah. Ia memutuskan beristirahat di sebuah toko obat milik seorang
dokter Nasrani. Suasana toko tengah ramai dan padat oleh para pelanggan.
Sang dokter tampak sibuk melayani dan memberikan obat. Di tengah-tengah
kesibukannya itu, ia melihat utusan duduk terkulai lemas di depan
tokonya. “Apa yang terjadi padamu, sakit apakah Saudara?” tanya sang
dokter yang mendekati utusan.
Pria utusan itu belum sempat
menjawab pertanyaan, sang dokter dengan sigap memegang tangan dan
memeriksa denyut nadinya lalu berkata, “Ohhh, saya tahu persis penyakit
yang mendera Anda. Wahai pembantu, berangkatlah ke pasar. Beli satu
bungkus roti, sebungkus lauk, dan satu kantong manisan.”
Utusan
tersebut tak melupakan para temannya, ia mengadu kepada si dokter bahwa
ada 39 orang lagi yang tengah kelaparan. “Baik tidak masalah, wahai
pembantu beli lagi makanan itu untuk 39 orang,” katanya
menginstruksikan kepada pembantunya.
Empat puluh makanan itu
diserahkan kepada utusan. Tetapi, bukan tidak percaya, si dokter hendak
menguji kejujuran utusan. Ia berangkat dengan utusan ditemani
pembantunya. Setibanya di lokasi mereka tinggal, si dokter dan
pembantunya tidak ikut masuk ke rumah. Ia berada di luar rumah tanpa
sepengetahuan rombongan.
Begitu masuk, utusan tersebut disambut
dengan riang. Perasaaan mereka campur aduk, senang sekaligus heran,
bagaimana ia mendapatkan makanan sebanyak ini. Atas desakan para jamaah,
utusan tadi akhirnya menceritakan kronologi kisahnya dengan lengkap.
“Jika begitu, maka apakah kalian rela menyantap makanan Nasrani ini
dengan lahap, tanpa hadiah sedikitpun?” celetuk pemimpin rombongan.
Secara spontan, mereka menahan diri sejenak dari keinginan makan.
Mereka semakin bingung, hadiah apa yang hendak diberikan sebagai balasan
itu. “Berdoalah kalian semua kepada Allah, sebelum mengonsumsi makanan
pemberiannya agar si dokter Nasrani diselamatkan dari api nereka,” kata
pemimpin rombongan memberikan saran. Ide brilian tersebut lantas
diterima secara aklamasi. Para jamaah sufi pun berdoa, seperti yang
telah disepakati bersama. Doa mereka hanya satu, agar Allah
menyelamatkan dokter Nasrani yang baik hati tersebut dari api neraka.
Dari luar rumah, si dokter mendengar secara jelas percakapan mereka. Ia
tergugah dengan sikap 40 jamaah sufi yang tidak rakus dengan makanan.
Meski mereka kelaparan, malah menahan diri dan mendoakan keselamatan
dirinya. Tak menunggu lama, ia segera mengetuk pintu dan masuk rumah,
lalu mengungkapkan kekagumannya. Di hadapan para jamaah sufi itu, sang
dokter Nasrani menyatakan keislamannya dan berikrar syahadat. Kejadian
ini, selain menunjukkan tentang kezuhudan segenap rombongan sufi,
sekaligus menegaskan bahwa doa agar seseorang mendapat hidayah
diperbolehkan sekalipun objek yang didoakan merupakan non-Muslim.
0 komentar