5/07/2017
Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada Rasulullah saw.
untuk bai’at …. Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul,
maka tangan kanannya itu mendapat penghormatan besar, hingga bersumpahlah ia
pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia
….
Ini pertanda merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai
perasaan yang amat halus ….
‘Imran bin Hushain r.a. merupakan gambaran yang tepat bagi
kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah
dan mentaati-Nya. Walaupun ia mendapat taufik dan petunjuk Allah yang tidak
terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata, ratapnya:
“Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja … !”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah karena banyak
melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa
mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya,
bagaimanapun mereka beribadat ruku’ dan sujud, tetapi ibadatnya, dan syukurnya
itu belumlah memadai ni’mat yang mereka telah terima.
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada
Rasulullah saw.:
“Ya Rasulullah, kenapa kami ini … ?
Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak
hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat
dengan mata kepala … !
Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kami berada di lingkungan
keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri …
Ujar Rasulullah saw.:
“Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya! Seandainya
kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan
menampakkan dirinya
menyalami kamu .. . ! Tetapi, yah yang demikian itu hanya
sewaktu-waktu … !”
Pembicaraan itu kedengaran oleh ‘Imran bin Hushain, maka
timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan
berbenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau
terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun!
Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu
itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus
dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan
Allah Robbul’alamin … !
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab, ‘Imran
dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing
mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka
demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan
meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: “Tidak seorang pun di
antara shahabat-shahabat Rasul saw. yang datang ke Bashrah, lebih utama dari
‘Imran bin Hushain … !”
Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah, ‘Imran tak sudi
diganggu oleh sesuatu pun. la menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam
dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini
lagi … ! Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan
Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman
dengannya … .
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara Kaum Muslimin,
yaitu antara golongan Ali dan Mu’awiyah, tidak saja ‘Imran bersikap tidak
memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak campur tangan dalam
perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan
sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: “Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di
puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah ke salah satu
pihak, biar meleset atau tidak … !”
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya:
“Tetaplah tinggal di mesjidmu … Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah
di rumahmu … ! Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu,
maka bunuhlah dia … !”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang. Ketika ia
mengidap suatu penyakit yang selalu mengganggunya selama 30 tahun, tak pernah
ia merasa kecewa atau mengeluh. Bahkan tak henti-hentinya ia beribadat
kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring . .
.
Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya
datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil
ujarnya: “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paling
disukai Allah … !” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum
kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: “Jika kalian telah kembali dari
pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan … !”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan
jamuan! Karena kematian seorang Mu’min seperti ‘Imran bin Hushain bukanlah
merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari pesta besar dan
mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke
dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi
orang-orang yang taqwa ….
https://catatan-primata.blogspot.co.id/
0 komentar