HASAN DARI BASHRAH DAN ABU’AMR

5/22/2017

HASAN DARI BASHRAH DAN ABU’AMR

HASAN DARI BASHRAH DAN
ABU’AMR

Pada suatu  hari, ketikaAbu ‘Amr, seorang ahli tafsir

terkemuka sedang mengajarkan Al-Quran, tak disangka-sangka datanglah seorang

pemuda tampan ikut mendengarkan pembahasanya. Abu ‘Amr terpesona memandang sang

pemuda dan secara mendadak lupalah ia akan setiap kata  dan huruf

dalam Al Quran. Ia sangat menyesal dan gelisah karena perbuatannya itu. Dalam

keadaan seperti ini pegilah ia mengunjungi Hasan dari Bashrah untuk mengadukan

kemasygulan hatinya itu.

“Guru.” Abu ‘Amr berkata sambil menangis dengan sedih, “Begitulah

kejadiannya. Setiap kata dan huruf Al-Quran telah hilang dari ingatanku.”

Hasan begitu terharu mendengar keadaan Abu ‘Amr.

“Sekarang ini adalah musim haji.” Hasan berkata kepadanya.

“Pergilah ke Tanah Suci dan tunaikan ibadah haji. Sesudah ituu pegilah ke  Masjid

Khaif. Di sana engkau akan bertemu denga seorang tua. Jangan engkau langsung menegusnya

tetapi tunggulah sampai keasyikannya beribadah selesai. Setelah itu berulah

engkau mohonkan agar ia mau berdoa untukmu.”

Abu ‘Amr menuruti petuah Hasan. Di pojok ruangan masjid Khaif, Abu

‘Amr melihat seorang tua yang patutu dimuliakan dan beberapa orang yang duduk

mengelilingi dirinya. Beberapa saat kemudian masuklah seorang lelaki yang

berpakaian putih bersih. Orang-orang itu memberi jalan kepadanya. Mengucapkan

salam dan setelah itu mereka pun berbincang-bincang dengan dia. Ketika waktu

shalat telah tiba, lelaki tersebut minta diri untuk meninggalkan tempat itu.

Tidak berapa lama kemudian yang lain-lainnya pun pergi ula, sehingga yang

tinggal di tempat itu hanyalah si orang tua tadi.

Abu ‘Amr menghampirinya dan mengucapkan salam.

“Dengan Nama Allah, tolonglah diriku ini,” Abu ‘Amr berkata sambil

menangis. Kemudian menerangkan dukacita yang menimpa dirinya. Si orang tua

sangat prihatin mendengar penuturan Abu ‘Amr tersebut, lalu menegadahkan kepala

dan berdoa. “Belum lagi ia merendahkan kepalanya,” Abu ‘Amr mengisahkan, “Semua

kata dan huruf Al Quran telah dapat ku ingat kembali. Aku bersujud di depannya

karena begitu syukurnya.”

Siapa yang telah menyuruhmu untuk menghadap kepada ku?” Kata orang

tua itu bertanya kepada Abu ‘Amr.

“Hasan dari Bashrah,” Jawab Abu ‘Amar.

“Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan.” Lelaki tua

tersebut berkomentar,’ mengapa ia memerlukan imam yang lain? Tapi baiklah,

Hasan telah menunjukan siapa diriku ini dan kini akan ku tunjukan siapakah dia

sebenarnya. Ia telah membuka selubung diriku dan kini ku buka pula selubung

dirinya,” Kemudian orang tua itu meneruskan, “Lelaki yang berjubah putih tadi,

yang datang ke sini setelh waktu shalat ‘Ashar, dan yang terlebih dahulu

meninggalkan tempat ini serta dihormati orang-orang lain tadi, ia adalah Hasan.

Setiap hari setelah melakukan Shalat ‘Ashar di Bashrah ia berkunjung ke

sini, berbincang-bincang bersamaku, dan kembali lagi ke Bashrah untuk shalat

Maghrib di sana. Jika seseorang telah mempunyai imam seperti Hasan, mengapa ia

masih merasa perlu memohonkan doa dari diriku ini?”

HASAN DARI BASHRAH DAN
PENYEMBAH API

Hasan mempunyai tetangga yang bernama Simeon, seorang penyembah

api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Sahabat-sahabat

meminta agar Hasan sudi mengunjunginya,. Akhirnya Hasan pun pergi mendapatkan

Simeon yang terbaring di atas tempat tidur dan badannya telah kelam karena api

dan asap.

“Takutlah kepada Allah,” Hasan menaseharkan, “Engkau telah

menyia-nyiakan seluruh usiamu di tengah-tengah api dan asap.”

“Ada tiga hal yang telah mencegahku untuk menjadi seorang Muslim,”

jawab Simeon penyembah api. “Yang pertama adalah kenyataan bahwa walaupun

kalian membenci keduniawian, tapi siang dan malam kalian mengejar harta

kekayaan. Yang kedua, kalian mengatakan bahwa mati adalah suatu kenyataan yang

harus dihadapi, namun kalina tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Yang

ketiga, kalian mengatakan bahwa wajah Allah akan terlihat, namun hingga saat

ini kalian melakukan segala sesuatu yang tidak di ridhai-Nya.”

Inilah ucapan dari manusia-manusia yang sungguh-sungguh

mengetahui,” jawab Hasan. “Jika orang-orang Muslimberbuat seperti yang engkau

katakan, apa pulakah yang hendak engkau katakan? Mereka mmengakui keesaan Allah

sedang engaku menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku tak pernah

berbuat seperti itu. Jika kita sama-sama terseret ke dalam neraka, api neraka

akan membakar dirimu dan diriku, tetapi jika diizinkan Allah, api tidak akan

berani menghanguskan sehelai rambut pun pada tubuhku. Hal ini adalah karena api

diciptakan Allah dan segala ciptaan-Nya tunduk kepada perintah-Nya. Walau pun

engkau menyembah api selama tujuh puluh tahun, marilah kita bersama-sama

menaruh tangan kita ke dalam api agar engkau dapat menyaksikan sendiri betapa

api itu sesunggunya tak berdaya da betapa Allah itu Maha Kuasa.”

Setelah berrkata demikian Hasan memasukan tangannya ke dalam api.

Namun sedikitpun ia tidak cedera atau terbakar. Menyaksikan hal ini Simeon

terheran-heran. Fajar pengetahuan terlihat olehnya.

“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” mengeluh

Simeon, “kini hanya dengan satu atau dua helaan nafas ssaja yang tersisa,

apakah yang harus ku lakukan?”

“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan.

“Jika engkau memberiku sebuah jaminan tertulis bahwa Allah tidak

akan menghukum diriku,” kata Simeon, “Barulah aku menjadi Muslim. Tanpa jaminan

itu aku tidak sudi memeluk agama Islam.”

Hasan segera membuat surat jaminan.

“Kini susullah orang-orang yang jujur di kota Bashrah untuk

memberikan kesaksian mereka di atas surat jaminan tersebut. Simeon mencucurkan

air mata dan menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Kepada Hasan ia

sampaikan wasiatnya yang terakhir, “Setelah aku mati, mandikanlah aku dengan

tanganmu sendiri, kuburkanlah aku dan selipkan surat jaminan ini di tanganku.

Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku adalah seorang Muslim.”

Setelah berwasiat demikian ia mengucap dua kalimah syahadat dan

menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mereka memandikan mayat Simeon,

mendhalatkannya dan menguburkannya dengan sebuah surat jaminan di tangannya.

Malam harinya Hasan pergi tidur sambil merenungi apa yang telah dilakukannya

itu. “Bagaimana aku dapat menolong seseorang yang sedang tenggelam sedang aku

sendiri dalam keadaan yang serupa. Aku sendiri tidak dapat menentukan nasibku,

tetapi mengapa aku berani mematikan apa yang akan dilakukan oleh Allah?”

Dengan pikiran-pikiran seperti ini Hasan terlena. Ia bermimpi

bertemu dengan Simeon, wajah Simeon cerah dan bercahaya seperti sebuah pelita;

di kepalanya terlihat sebuah mahkota. Ia mengenakan sebuah jubah yang indah dan

sedang berjalan-jalan di taman surga.

“Bagaimana keadaanmu Simeon?” tanya Hasan kepadanya.

“Mengapakah engkau bertanya padahal engkau menyaksikan sendiri?”

jawab Simeon. “Allah Yang Maha Besar dengan segala kemurahan-Nya telah

menghampirkan diriku kepada-Nya dan telah memperlihatkan wajah-Nya kepadaku.

Karunia yag dilimpahkan-Nya kepdaku melebihi segala kata-kata. Engkau telah

memberiku sebuah surat jaminan, terimalah kembali surat jaminan ini karena aku

tidak membutuhkannya lagi.”

Ketika Hasan terbangun, ia mendapatkan surat jaminan itu telah

berada di tangannya. “Ya Allah,” Hasan berseru, “aku menyadari bahwa segala

sesuatu yng Engkau lakukan adalah tanpa sebab kecuali karena kemurahan-Mu

semata. Siapa yang akan tersesat di pintu-Mu? Engkau telah mengizinkan

seseorang yang telah menyembah api tujuh puluh tahun lamanya untuk menghampiri-Mu,

semata-mata karena sebuah ucapan. Betapakah Engkau akan menolak seseorang yang

telah beriman selama tujuh puluh tahun?”Sumber: Kisah ini diambil dari Kitab “Tadzkiratul Auliya”, “Warisan Para Auliya (terjemah)” Karya Fariduddin Attar. 

http://kisahteladan.web.id/

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

pesan di sini ...

Nama

Email *

Pesan *

Kata mutiara

Allah Masih Memberiku Waktu " Hari ini aku masih terbangun karena Allah masih memberiku waktu di dunia, memberiku waktu untuk hidup agar aku dapat menghapuskan dosa-dosaku dengan melakukan kebaikan"