Menjadi Ahli Hadits – Sebuah Doa Untuk Anak
4/18/2017
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma di masa kecilnya pernah menginap di rumah Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha, bibinya. Maimunah sendiri adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibunda kaum muslimin. Saat itu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menyiapkan air untuk wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mendengar jawaban Maimunah bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma lah yang melakukannya, beliau pun berdoa untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“Ya Allah, buatlah dia menjadi faqih di dalam agama ini, dan ajarilah dia ilmu ta’wil (ilmu tafsir al-Qur’an).”
Takhrij Hadits
Apabila dicermati, doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
ada dalam dua permohonan; menjadi faqih di dalam agama Islam dan
menguasai ilmu tafsir. Sebagian orang menyangka bahwa kedua doa
Rasulullah di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.
Apakah memang demikian?
Hadits dengan lafadz di atas, dengan
menyebutkan dua permohoan doa sekaligus, diriwayatkan oleh at-Thabarani
(3/164/2), Abu Ali ash-Shawwaf dalam kitab al-Fawaid (3/166—167), ad-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (2/226) dengan dua sanad, dari Syibl bin Abbad, dari Sulaiman al-Ahwal, dari Said bin Jubair, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Sementara itu, al-Imam al-Bukhari (no.
75) dan Muslim (no. 2477) hanya meriwayatkan lafadz pertama, yakni
permohonan menjadi faqih di dalam agama. Adh-Dhiya’ menyatakan,
“Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan lafadz wa ‘allimhu at ta’wiil. Tambahan lafadz ini adalah tambahan yang hasan.”
Al-Albani menambahkan, “Al-Hakim menyatakan sahih (3/534) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.”
Setelah menyebutkan beberapa bentuk lafadz lain, asy-Syaikh al-Albani menyimpulkan (Silsilah ash-Shahihah no. 2589), “Secara umum, dengan lafadz demikian hadits ini sahih. Di dalam syarah ath-Thahawiyah hlm. 234, penulis menyandarkan lafadz ini kepada al-Bukhari. Ini adalah wahm (kekeliruan), sebagaimana telah saya ingatkan dalam takhrij hadits di sana.”
Mendoakan Anak
Satu hal penting yang sering dilupakan
oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya. Sekian banyak
dalil menyebutkan pentingnya orang tua sering mendoakan kebaikan untuk
anak. Selain sebagai tanda kasih orang tua dan hak seorang anak, doa
kebaikan menjadi salah satu sebab kebahagiaan anak di dunia dan akhirat
kelak.
Selain itu, Islam juga melarang orang
tua mendoakan kejelekan untuk anaknya. Apapun alasannya hal tersebut
tidak boleh dilakukan. Senyatanya, dalam kehidupan sehari-hari, tidak
jarang kita menemui orang tua yang saat emosi dan marah melaknat atau
mendoakan kejelekan untuk anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيبُ لَكُم
“Janganlah kalian mendoakan
kejelekan untuk diri sendiri! Janganlah mendoakan kejelekan untuk
anak-anak kalian! Janganlah mendoakan kejelekan untuk harta milik
kalian! Jangan sampai kalian (berdoa) dan tepat pada waktu yang
ditentukan Allah ‘azza wa jalla untuk dikabulkan doa padanya, lantas doa kalian diwujudkan.” (HR . Muslim no. 3009, dari Jabir bin Abdillah)
Di dalam syarah Riyadhus Shalihin,
asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin menyatakan, “Seandainya engkau
menegur anakmu dengan mengatakan, ‘Kemari! Mengapa engkau melakukan
perbuatan ini?! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak melimpahkan taufik untukmu! Semoga Satu hal penting yang sering dilupakan oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya.
Allah ‘azza wa jalla tidak membuatmu beruntung! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikanmu baik!’, dikhawatirkan bertepatan dengan waktu istijabah (dikabulkannya doa). Semua hal ini haram, tidak boleh!”
Alangkah lebih baiknya jika orang tua,
pengajar atau siapa pun, ketika melihat dan bergaul dengan anak-anak
untuk sering-sering mendoakan kebaikan. Barangkali saja tepat pada waktu
istijabah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri sering mendoakan kebaikan untuk anak-anak kecil semasa hidupnya.
Salah satu contohnya adalah doa beliau untuk Abdullah bin Abbas di
dalam hadits kita ini.
Doa Rasulullah Terkabul?
Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pada waktunya benar-benar terkabul. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
dikenal dan diakui sebagai ahli tafsir terkemuka di kalangan sahabat.
Referensi-referensi Islam dipenuhi dengan riwayat, pendapat, dan fatwa
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Untuk menggambarkan profil Ibnu
Abbas, kami akan menukilkan sedikit biografi beliau dari karya
monumental al-Imam adz-Dzahabi yang berjudul Siyar A’lam an-Nubala.
Nama lengkap beliau adalah Abul Abbas Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al-Hasyimi. Adz-Dzahabi menyebutnya dengan Habrul Ummah (Tinta Umat)[1], Faqiihul ‘Ashr (Tokoh Fiqih di Masanya), dan Imam at-Tafsir (Pemuka Utama dalam Tafsir). Secara garis nasab, Ibnu Abbas merupakan sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas dilahirkan di sebuah lembah
bernama Syi’b Abu Yusuf, sebuah daerah milik bani Hasyim. Syi’ib adalah
lembah yang pernah digunakan oleh Rasulullah dan bani Hasyim untuk
menetap ketika kaum kafir Quraisy melakukan blokade. Menurut pendapat
yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr dan al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Abbas
lahir tiga tahun sebelum hijrah. Oleh sebab itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ibnu Abbas telah berusia 13 tahun.
Secara fisik, Ibnu Abbas memiliki
perawakan yang tegap, dada bidang, berwibawa, gagah rupawan, cerdas ,
berkulit putih, dan berpostur tinggi. Apabila Ibnu Abbas berjalan dan
melewati rumah-rumah, orang dapat mengenalnya hanya dengan mencium harum
wangi yang berasal dari tubuhnya.
Walaupun hanya sekitar tiga puluh bulan bermulazamah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, riwayat hadits Ibnu Abbas menyentuh bilangan 1.660 hadits. Di dalam ash-Shahihain ada
75 hadits; 120 hadits hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari, sementara
al-Imam Muslim ada 9 hadits yang hanya beliau yang meriwayatkan.
Selain meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ibnu Abbas juga berguru dari Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib,
Muadz bin Jabal, al-Abbas ayahnya, Abdurrahman bin Auf, Abu Sufyan, Abu
Dzar, dan sahabat-sahabat lainnya g. Secara lebih khusus, Ibnu Abbas
belajar al-Qur’an beserta ilmu-ilmu terapannya dari sahabat Ubai bin
Ka’b dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma.
Melihat nama-nama besar sahabat tempat Ibnu Abbas berguru dan menimba ilmu, maka tidaklah heran jika sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
menyanjung, “Andai Ibnu Abbas berusia seperti kami (sezaman sahabat
senior), tentu tidak ada seorang pun yang mampu menyainginya.” Dalam
kesempatan lain, Ibnu Mas’ud memuji, “Sebaik-baik penafsir al-Qur’an
adalah Ibnu Abbas.”
Siapakah sahabat yang paling mengerti
dan memahami tentang al-Qur’an berikut kandungan maknanya? Di antara
mereka adalah Ibnu Abbas. Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
mengakuinya dengan mengatakan, “Ibnu Abbas adalah orang yang paling
mengerti tentang ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Muhammad.”
Pengakuan akan keilmuan Ibnu Abbas juga datang dari gurunya sendiri, Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu.
Ubai pernah berkata, “Anak muda ini kelak akan menjadi tinta umat ini.
Aku menyaksikan kecerdasan dan kepintaran terpancar dari dirinya.
Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar menjadikannya faqih di dalam agama.”
Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma juga mengakui taraf keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang amat tinggi. Suatu saat Mu’awiyah berbicara kepada Ikrimah rahimahullah, mantan budak milik Ibnu Abbas sekaligus muridnya, “Demi Allah! Maula-mu
(mantan majikanmu) adalah orang yang paling faqih di antara orang-orang
yang telah meninggal, juga dibandingkan dengan orang-orang yang masih
hidup.”
Demikianlah para sahabat memuji, menyanjung, dan mengakui keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Kemampuannya di dalam bidang tafsir, kefaqihannya dalam banyak masalah
agama telah menempatkan beliau pada posisi istimewa di kalangan sahabat.
Hal ini merupakan bukti bahwa doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beliau sungguh-sungguh dikabulkan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Sebagai salah satu indikator keluasan ilmu Ibnu Abbas adalah sebuah keterangan dari Ibnu Hazm di dalam kitabnya, al-Ihkam.
Di sana Ibnu Hazm mengatakan, “Abu Bakr Muhammad bin Musa bin Ya’qub
bin al-Makmun, seorang ulama besar Islam, mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu
Abbas dalam dua puluh jilid kitab.”
Subhanallah! Fatwa Ibnu Abbas terhimpun dalam dua puluh jilid kitab? Sungguh, telah dikabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Fatwa-fatwa Ibnu Abbas yang dibangun di atas ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bukti kuat akan keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai beliau.
Menuju Ahli Tafsir
Usia Ibnu Abbas masih 13 tahun ketika
Rasulullah wafat. Akan tetapi, semangat juangnya untuk menimba dan
mencari ilmu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ibnu Abbas sempat
mengajak seorang kawannya dari kaum Anshar untuk berkeliling belajar
dari seorang sahabat ke sahabat lainnya. Namun, ajakan itu ditolak.
Katanya, buat apa belajar sementara sahabat-sahabat Nabi g masih banyak
yang hidup. Apakah orang-orang akan bertanya kepada kita?
Namun, semangat Ibnu Abbas selalu
bergelora. Digambarkan oleh beliau sendiri, untuk bisa memperoleh sebuah
riwayat, beliau terkadang harus rela menunggu sampai tertidur di depan
rumah sahabat yang dituju. Usia muda, semangat tinggi, kecerdasan yang
luar biasa ditambah lisan yang selalu bertanya, pada akhirnya membuat
Ibnu Abbas menjadi salah satu sumber rujukan utama dalam masalah agama.
Bagaimana tidak menjadi seorang pemuka
agama yang mumpuni, ilmu yang dihimpun dan dikumpulkan oleh Ibnu Abbas
benar-benar berkualitas. Buktinya? Ibnu Abbas pernah menyatakan,
“Sungguh! Untuk satu masalah saja, terkadang saya menanyakan jawabannya
kepada tiga puluh orang sahabat Nabi.”
Kawannya yang sempat menolak ajakan Ibnu Abbas lalu berkomentar, “Anak muda yang satu ini memang lebih cerdas daripada saya.”
Dari beberapa hal di atas, seharusnya
membuka harapan baru untuk anak-anak kita kelak. Kesempatan untuk
menjadi seorang ahli tafsir, seseorang yang memahami makna dan kandungan
al-Qur’an secara luas masih selalu ada. Asalkan kita sebagai orangtua
atau pengajar selalu menanamkan semangat dan menaburkan benih motivasi
dalam dada mereka. Menjadi seorang ahli tafsir? Mengapa tidak?
Warisan Ahli Tafsir, Murid-Murid Ahli Tafsir
Keilmuan Ibnu Abbas dalam hal
menafsirkan al-Qur’an kemudian diwarisi oleh murid-muridnya. Oleh sebab
itu, mayoritas tokoh dan pemuka ahli tafsir di kalangan tabi’in adalah
murid-murid Ibnu Abbas. Tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan lalu dituliskan di dalam karya-karya tafsir kecuali pasti
tersebut salah satu dari nama murid-murid Ibnu Abbas.
Siapa yang tidak mengenal Mujahid bin
Jabr? Seorang ahli tafsir yang disebut oleh ats-Tsauri, “Jika datang
tafsir dari Mujahid, peganglah kuat-kuat!”
Siapa yang tidak mengenal Sa’id bin
Jubair? Muhammad bin Sirin, Ikrimah, Thawus, Atha’ bin Yasar,
asy-Sya’bi, Amr bin Dinar, Urwah bin az-Zubair, dan Arbadah at-Tamimi
Shahibut Tafsir? Mereka semua adalah murid-murid utama Ibnu Abbas yang
dikenal sebagai ahli tafsir juga.
Bagaimanakah Ibnu Abbas dalam pandangan
murid-muridnya? Abu Wa’il bercerita, “Ibnu Abbas pernah menyampaikan
khutbah untuk kami. Saat itu, beliau menjadi Amirul Hajj. Beliau
membacakan surat an-Nur dan menafsirkannya. Sampai-sampai aku berkata,
‘Aku tidak pernah mendengar khutbah seindah ini. Andai khutbah ini
didengar oleh orang-orang Persia, Romawi, dan Turki, niscaya mereka akan
masuk Islam’.”
Mujahid memuji, “Aku tidak pernah
melihat orang semacam Ibnu Abbas. Beliau adalah tinta umat ini.” Di
waktu lain Mujahid menjelaskan, “Ibnu Abbas digelari dengan al-Bahr (Samudra) karena banyaknya ilmu yang dimiliki.”
Pujian yang sama juga dilayangkan oleh Ikrimah, murid beliau yang lain. Katanya, “Ibnu Abbas benar-benar samudra ilmu.”
Thawus menggambarkan untuk kita tentang
keilmuan Ibnu Abbas di tengahtengah para sahabat. Kata Thawus, “Aku
pernah bertemu sekitar lima ratus orang sahabat Nabi. Jika mereka
berbeda pendapat, Ibnu Abbas selalu berusaha untuk meyakinkan mereka
pada satu pendapat sampai akhirnya mereka pun sepakat dengan pendapat
Ibnu Abbas.”
Ibnu Abbas di Mata Khalifah Umar bin al-Khaththab
Kefaqihan dan keluasan ilmu tafsir yang
dimiliki Ibnu Abbas adalah alasan yang membuat Khalifah Umar bin
al-Khaththab menunjuk beliau sebagai salah satu anggota Syura. Semula,
sebagian sahabat kurang bisa menerima keputusan Umar. “Kalau anak muda
ini bisa masuk dalam Syura, anak-anak kita yang seumur dengannya pun
seharusnya bisa,” kata mereka.
Suatu saat, Khalifah Umar hendak
menunjukkan bukti di hadapan seluruh anggota Syura bahwa Ibnu Abbas
memang layak berada di sana. Umar lalu bertanya tentang makna firman
Allah ‘azza wa jalla dalam surat an-Nashr. Sebagian sahabat diam, meski ada juga yang berusaha menjawab.
Di akhir diskusi, Umar bin al-Khaththab
mempersilakan Ibnu Abbas untuk menjawab. Kata Ibnu Abbas, “Yang dimaksud
adalah ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah mendengar jawaban Ibnu Abbas, Umar menanggapi, “Aku pun tidak
memahami ayat tersebut kecuali seperti yang engkau pahami!”
Dalam waktu yang berbeda, seorang utusan
dari daerah datang bertemu dengan Khalifah Umar. Di dalam laporannya,
utusan tersebut menceritakan semangat kaum muslimin di daerahnya yang
begitu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an. Ibnu Abbas secara
terus terang menyatakan tidak senang dengan fenomena tersebut. Namun,
Umar tidak menerima keberatan yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas kemudian pulang ke rumah
dalam keadaan sedih atas sikap Umar. Beliau berbaring sampai disangka
jatuh sakit oleh sebagian anggota keluarganya. Akhirnya datang panggilan
dari Umar untuk Ibnu Abbas agar datang menghadap. Berbicara berdua,
Umar menanyakan tentang pernyataan Ibnu Abbas di hadapan utusan
tersebut. Apa alasannya?
Ibnu Abbas lalu menjelaskan, “Jika
orang-orang terlalu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an, mereka
akan mengklaim saling benar. Apabila hal itu terjadi, mereka akan
berdebat. Setelah itu mereka akan berselisih. Pada akhirnya mereka akan
saling membunuh.”
Kata Umar menilai keterangan Ibnu Abbas,
“Sungguh menakjubkan pikiranmu! Sungguh, selama ini aku menyembunyikan
perasaan semacam itu dari orang-orang, sampai akhirnya engkau pun
mengutarakannya.”
Doakanlah Kebaikan!
Kekhawatiran Ibnu Abbas akhirnya
benar-benar nyata terjadi. Akibat dari berbicara tentang al-Qur’an tanpa
landasan ilmiah hanya akan menimbulkan kekacauan dalam beragama.
Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu, kepentingan kelompok,
atau kesenangan pribadi terlihat jelas pada kelompok-kelompok sempalan
Islam. Serahkan
tafsir al-Qur’an pada ahlinya!
Sungguh benar ucapan sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang pernah menggambarkan semacam ini. Sebagian muridnya bertanya, kapankah hal itu terjadi?
Ibnu Mas’ud menjawab,
إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّ فُقَهَاؤُكُمْ، وَكَثُرَ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّ أُمَنَاؤُكُمْ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ، وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّينِ
“Apabila ahli membaca al-Qur’an
banyak jumlahnya, tetapi yang mengerti tentang fiqihnya hanya sedikit.
Banyak pemimpin bermunculan, namun yang bersikap amanah amat jarang.
Dunia dicari dengan mengorbankan agama, dan orang belajar tetapi tidak
tulus demi agama.” (Riwayat al-Hakim 4/514 dan ad-Darimi 1/64)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
memberikan taufik dan hidayah-Nya agar kaum muslimin kembali kepada
paham Salafus Shalih dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Semoga kita dan
anak-anak kita kelak selalu istiqamah mempelajari al-Qur’an, mencintai,
mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya.
Seperti Ibnu Abbas! Walaupun telah buta
di masa tuanya, Ibnu Abbas tetap mengajarkan al-Qur’an beserta
tafsirnya. Ibnu Abbas adalah figur panutan kita dalam ilmu tafsir.
Semoga Allah meridhai beliau dan orang tuanya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai
[1] Kata hibr dengan meng-kasrah huruf ha, maknanya tinta atau ulama. Adapun dengan habr maknanya ialah ulama. (Mishbahul Munir, al-Fayyumi) sumber : http://asysyariah.com/
0 komentar