Sejarah Ilmu Qira'at Al-Qur'an hingga Lahirnya Qira'at Sab'ah

4/21/2017

http://vivatranews2.blogspot.co.id/
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang tersebar di sepanjang jazirah Arab. Antara suku satu dengan suku lainnya memiliki lahjaah (dialektik) bahasa yang berbeda, terutama dalam pengucapannya (mereka memiliki bahasa sampai puluhan dialek).

Perbedaan dialek bahasanya tentu dipengaruhi oleh letak geografis dan sosio kultural dari masing-masing etnis. Kendati demikian mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dengan demikianlah Alquran diturunkan dengan berbahasa Quraisy agar mudah dipahami oleh bangsa Arab.[1] Demikian dijelaskan di dalam Alquran (Q.S. 12 : 2) ;

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ﴿٢

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. 

Dari latar belakang linguistik itulah akhirnya timbul kelak suatu istilah yang terkenal dengan nama qira’at saba’ah hal ini Rasulullah sendiri tidak melarang penglafalan Al-Quran dengan berbagai macam qira’at, seperti dalam hadisnya yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

….وَيَزِِِيْدُنِى حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَخْرُفٍ ….

Artinya; …. “(Jibrilpun) berkehendak menambahkan kepadaku sampai berakhir kepada tujuh huruf”….

Berdasarkan dari uraian di atas maka tulisan ini akan mencakup beberapa pembahasan berikut: Pengertian qira’at Alquran, Bagaimana motif timbulnya qira’at Alquran, dan Silsilah qira’at saba’ah ? 
Pengertian Qira’at

Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’at (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Pengertian qira’at menurut istilah. bagi al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal Alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.[2]

Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Alquranulkarim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya. Sedangkan al-Jazari berpendapat bahwa qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara pengucapan kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengistimbatkan kepada penukilnya. 

Muhammad Ali ash-Shabuny menjelaskan qira’at adalah suatu aliran di dalam melafalkan Alquran yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Alquranul karim, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung kepada Rasulullah saw.[3]

Perbedaan definisi di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama dari sumber yaitu Muhammad saw. Definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok;

1. Qira’at dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Alquran, dimana cara membaca Alquran berbeda antara satu imam dengan imam qira’at lainnya.

2. Cara bacaan yang dianut dalam suatu mashab qira’at didasarkan atas riwayat yang bersambung kepada nabi Muhammad saw. Dan bukan atas qiyas atau ijtihad.

3. Perbedaan antara qira’ah- qira’ah bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapan dalam berbagai keadaan

Sejarah timbulnya Ilmu Qira’at Al-Qur'an

Kapan dan dimana dimulai qira’at para ulama memiliki pandangan berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Alquran. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat Alquran adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah (baca: perbedaan makkiyah dan madaniyah). Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah. 

Sedang pendapat yang kedua, Qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar - yang disebutkan dalam hadis tersebut- terletak di dekat kota Madinah.[4] 

Kuatnya pendapat yang kedua tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.

Perbedaan pandangan diatas hanya berkisar seputar tempat, namun keduanya sepakat tentang waktu bahwa awal munculnya qira’at terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. Walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan disiplin ilmu, hanya saja baru dipelajari pada masa sahabat hingga saat ini.

Konsederan tersebut diperkuat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim dalam membaca ayat-ayat Alquran, Umar merasa tidak puas ketika Hisyam membaca surat al-Furqan di dalam shalat. Menurut Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepadanya, namun Hisyam juga menegaskan bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat Hisyam diajak Umar untuk menemui Nabi dan melaporkan peristiwa tersebut, kemudian Nabi menyuruh Hisyam untuk mengulangi bacaanya sewaktu shalat tadi.

Setelah Hisyam selasai membacanya, Nabi bersabda : artinya “memang begitulah Alquran diturunkan, sesungguhnya Alquran itu diturunkan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.[5] 

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata: “ketika aku berada di dalam masjid, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu shalat dan membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi laki-laki lain yang bacaannya berbeda dengan bacaan pertama. Seusai shalat kami masuk ke rumah Rasulullah, lalu bercerita bahwa si laki-laki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan si laki-laki yang satunya lagi membaca bacaan yang berbeda dengan si laki-laki pertama, kemudian Rasulullah saw. memerintahkan keduanya untuk membaca, Rasulullah menanggapi baik bacaan mereka. 

Setelah menyaksikan hal tersebut, terhapuslah dalam diri saya untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku semasa jahiliyah. Tatkala beliau saw. melihat diriku kebingungan, maka beliau berkata; Hai Ubay aku diutus untuk membaca Alquran dengan satu huruf pendek, kemudian aku meminta Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacanya dengan huruf kedua, aku pun minta lagi untuk ketiga kalinya. Kemudian Jibril berkata hai Muahammad, bacalah Alquran itu dalam tujuh lahjah, dan terserah kepadamu Muhammad, adakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan/permintaan lagi.[6]

Pada masa sahabat yakni masa Usman bin Affan, mushab ditulis sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada. Disamping itu perbedaan-perbedaan dialek dalam melafazkan Alquran sebenarnya bersifat alami dan tidak bisa dihindari.

Para sahabat yang ahli qira’at antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para sahabat. Demikian halnya dengan Tabiit-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.[7]

Menurut Prof. Dr. Subkhi Shalih, penyebaran qira’at dimulai pada masa Tabi’in yaitu pada awal abad ke II H., tatkala para qari’ tersebar dibeberapa pelosok mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru kemurid sehingga sampai kepada imam qira’at.

Seiring dengan perkembangan Islam dibeberapa wilayah disertai dengan penyebaran mushab-mushab keberbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam, lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan negara-negara Arab.

Diantara ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai penyimpangan adalah:

1. Abu A’mr Usman bin Sa’id bin Utsman bin Sa’id al-Dani, dari Daniyyah Andalusia, dalam karyanya yang berjudul al-Tafsir.

2. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Imarah bin Abu al-‘Abbas al-Mahdawi dalam karyanya yang berjudul, kitab al-Hidayah.

3. Abu Hasan Thahrir bin Abi Thayyib bin Abi Ghalabun al-Halabi, seorang pendatang di Mesir, dalam karyanya yang berjudul adz-Dzakirah.

4. Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib al-Qairawani di Cardoca, dalam karyanya yang berjudul al-Tabshirah.

5. Abu al-Qasim ‘Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Syamah, dalam karyanya yang berjudul al-Mursyid al-Wajiz.[8]

Selanjutnya ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain: Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Adapu Tabi’in yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.

Para Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi. Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d. Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qira’at yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing. [9]

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qira’at dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.[10]

Dari segi kuantitas qira’at, para ulama membagi qira’at yang mahsyur menjadi tujuh/saba’ah, sepuluh/‘Asyrah dan empat belas/’Arba,at Asyrah. 

Adapun ulama yang termasuk pada qira’at saba’ah adalah:

1. Abdullah bin Katsir al-Dar, dari Makkah yang wafat pada tahun 120 H. ia adalah generasi tabi’in. qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Jubair.\

2. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im berasal dari Madina yang wafat pada tahun 169 H. Toko ini belajar qira’at pada 70 orang tabi’in.

3. Abdullah al-Yashibi, terkenal dengan sebutan Abu Amid Ad-Damsqi, berasal dari Syam wafat pada tahun 188 H. ia mengambil qira’at dari al-Mughirah bin Abu Syaibah al-Mahzuni, dari Utsman bin Affan.

4. Abu Amar berasal dari Basrah nama lengkap beliau adalah Zabban bin al-A’la bin Ammar, wafat pada tahun 154 H. ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr.

5. Ibnu Ishak al-Hadrami atau dikenal dengan Ya’qub, beliau berasal dari Irak. Wafat pada tahun 205 H. belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman ath-Thawil yang mengambil qira’at dari Ashim dan Abu Amar.
sumber : http://www.tongkronganislami.net/

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

pesan di sini ...

Nama

Email *

Pesan *

Kata mutiara

Allah Masih Memberiku Waktu " Hari ini aku masih terbangun karena Allah masih memberiku waktu di dunia, memberiku waktu untuk hidup agar aku dapat menghapuskan dosa-dosaku dengan melakukan kebaikan"