"Afrika Selatan menyimpan banyak keragaman.
Negeri itu terdiri atas sembilan provinsi, memiliki sebelas bahasa
nasional, dan dihuni oleh 51 juta orang lebih. Lanskap alamnya yang
mencakup gurun pasir Kalahari yang ekstrem, padang rumput savana, serta
keindahan pegunungan yang tertutup salju, semakin menambah daya tarik
negara bekas jajahan Inggris tersebut.
Aset terbesar Afrika
Selatan adalah masyarakatnya karena memiliki latar belakang bangsa dan
budaya yang beragam. Dari jumlah keseluruhan penduduk negeri itu,
sekitar 76,7 persen di antaranya berasal etnis Afrika. Sementara,
sisanya sebanyak 10,9 persen terdiri atas ras kulit putih, 8,9 persen
ras kulit berwarna, dan 2,6 persen lagi berasal dari etnis India atau
Asia.
Agama mayoritas di Afrika Selatan adalah Kristen, yang
dianut oleh sekira 79,8 persen penduduknya. Sementara, jumlah pemeluk
Islam hanya berkisar dua persen dari total populasi negara itu.
“Meskipun Islam hanya agama minoritas, komunitas Muslim di Afrika
Selatan mencerminkan keragaman yang sama dengan corak sosial yang
dimiliki penduduk negeri itu,” ungkap peneliti dari Pretoria, Suraya
Dadoo, dalam artikelnya, “South Africa: Many Muslims, One Islam”.
Menurut catatan sejarah, Islam pertama kali hadir di Afrika Selatan
melalui tangan para budak, tahanan politik, dan pekerja rodi dari Afrika
dan Asia. Mereka dibawa ke negeri itu oleh pemerintah kolonial Eropa
antara 1652 sampai pertengahan abad ke-19. Di dalam kelompok ini
terdapat pula kaum 'Mardykers', yakni budak-budak Melayu yang
dipekerjakan oleh para pejabat Belanda di sana.
“Banyak dari
budak Melayu tersebut yang akhirnya memilih untuk tetap berada di
Provinsi Cape sehingga daerah itu sekarang dikenal sebagai rumah bagi
komunitas Muslim Melayu,” tulis Dadoo.
Islam menyebar dengan
cepat di Provinsi Cape seiring tumbuhnya pelembagaan agama dan
pendidikan di kalangan Muslim. Faktor lain yang ikut memacu pertumbuhan
Islam di daerah itu adalah perkawinan, perpindahan keyakinan (mualaf),
dan pembelian budak oleh para majikan Muslim.
Ketika perbudakan
dihapuskan pada 1838, pemerintah kolonial Inggris menyadari perlunya
sistem tenaga kerja alternatif untuk menopang kegiatan ekonomi mereka di
tanah jajahan. Oleh karenanya, para pejabat Inggris akhirnya membawa
orang-orang India ke Afrika Selatan untuk dipekerjakan sebagai buruh di
perkebunan tebu yang berada di Provinsi Natal.
“Antara
1860-1911, Pemerintah Inggris mengirim 176 ribu orang India ke Natal.
Sekitar 7-10 persen dari kaum imigran itu adalah Muslim,” ujar Dadoo
lagi.
Pada masa selanjutnya, kaum Muslim India tadi membentuk
komunitas tersendiri di Natal. Sebagian dari mereka ada yang kemudian
memilih menetap di Cape Town, dan ada pula yang hijrah ke Transvaal atau
Kimberley.
0 komentar