Pendamlah Eksistensimu di “Tanah Ketawaduan”!
4/12/2017
اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ
Artinya: “Pendamlah eksistensimu (keberadaanmu) di tanah ketiadaan (ketawaduan), Sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam di balik ketiadaan tak akan sempurna buahnya.”
Dalam hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah Assakandary sedang mengajarkan tentang konsep kerendahan hati yang menjadi pondasi kesempurnaan ruhani dan jiwa. Karena proses bersuluk pada dasarnya adalah proses memperbaiki jiwa.
Adapun jiwa bagaikan pohon yang tumbuh; jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِٚ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah SWT telah membuat perumpamaan “kalimat yang baik” itu seperti pohon yang baik; akarnya teguh, dan cabangnya tinggi menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seining dari Tuhannya. Allah SWT membuat perumpamaan itu untuk manusia supara mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Secara etimologi, al-khumull artinya adalah ketiadaan, kosong, hampa, kering; yang dalam hikmah ini bermakna “kerendahan” atau “ketawadhuan”. Sementara arti wuju
Manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya. Manusia memilki ego untuk dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan di atas manusia lainnya.
Disinilah maksud dari Ibnu Athaillah dalam mendidik jiwa seorang salik agar dapat mengontrol ego jiwa itu dalam ruang ketawadhuan. Bahkan Ibnu Ajibah memberikan pengertian yang lebih dalam lagi: Khumul adalah kondisi di mana seorang salik sama sekali tak dianggap orang lain (suquth al-manzilah ‘inda al-nas).
Dalam kehidupan para sufi, banyak kita temukan mereka tidak menampakkan kesolehan dhahirnya, mereka tampak kumal, tidak memakai ‘atribut-atribut’ kesalehan, berpakaian sederhana, tidak tampak seperti kiyai atau ulama besar atau tidak mau dipanggil dengan gelaran-gelaran kehormatan; Kiyai; Habib; dll. Hal tersebut demi menjaga kebersihan niat dan hatinya agar tidak condong kepada selain Allah SWT.
Ini bukan berarti seorang ulama/salik tidak diperkenankan untuk memakai pakaian yang bagus dan terhormat, namun ini tergantung dari kondisi hati dan jiwa si salik tersebut untuk menempatkan niatnya.
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Malliki al-Hasani (seorang ulama Ahlussunnah wal Jamaah Makkah) pernah ditanya oleh muridnya kenapa selalu berpakaian bagus dalam kesehariannya? Beliau menjawab bahwa sikap seperti ini tidak lain hanyalah untuk menghormati ilmu yang ia miliki.
Pada maqam seperti itu, seorang ulama juga harus memahami bahwa dia adalah seorang panutan bagi murid-muridnya, namun maqam hati seperti ini tidaklah mudah didapatkan kecuali orang-orang yang sudah sampai pada level kerendahan hati yang tinggi.
Seorang bijak pernah berkata: “Makin dalam engkau menguburkan dirimu di dalam lapisan bumi, makin menjulang batinmu di lapisan angkasa.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seringkali ada orang yang rambutnya tampak kacau, mukanya berdebu, dan bajunya jelek, sementara orang-orang ingin menjauh darinya karena pemandangan lahiriahnya yang buruk; tetapi jika ia bersumpah dan meminta sesuatu kepada Tuhan, maka Dia akan langsung memenuhinya.
Dari sini, hendaklah kita mengusahakan agar ikhlas dalam segala hal yang kita kerjakan. Jika keikhlasan itu tak bisa diraih kecuali dengan menjauh dari perhatian orang ramai, maka lakukanlah! Sebab, kebanyakan orang tidak bisa terhindar dari perasaan jumawa di depan orang lain.
sumber: http://www.aktual.com/
Artinya: “Pendamlah eksistensimu (keberadaanmu) di tanah ketiadaan (ketawaduan), Sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam di balik ketiadaan tak akan sempurna buahnya.”
Dalam hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah Assakandary sedang mengajarkan tentang konsep kerendahan hati yang menjadi pondasi kesempurnaan ruhani dan jiwa. Karena proses bersuluk pada dasarnya adalah proses memperbaiki jiwa.
Adapun jiwa bagaikan pohon yang tumbuh; jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِٚ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah SWT telah membuat perumpamaan “kalimat yang baik” itu seperti pohon yang baik; akarnya teguh, dan cabangnya tinggi menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seining dari Tuhannya. Allah SWT membuat perumpamaan itu untuk manusia supara mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)
Secara etimologi, al-khumull artinya adalah ketiadaan, kosong, hampa, kering; yang dalam hikmah ini bermakna “kerendahan” atau “ketawadhuan”. Sementara arti wuju
Manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya. Manusia memilki ego untuk dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan di atas manusia lainnya.
Disinilah maksud dari Ibnu Athaillah dalam mendidik jiwa seorang salik agar dapat mengontrol ego jiwa itu dalam ruang ketawadhuan. Bahkan Ibnu Ajibah memberikan pengertian yang lebih dalam lagi: Khumul adalah kondisi di mana seorang salik sama sekali tak dianggap orang lain (suquth al-manzilah ‘inda al-nas).
Dalam kehidupan para sufi, banyak kita temukan mereka tidak menampakkan kesolehan dhahirnya, mereka tampak kumal, tidak memakai ‘atribut-atribut’ kesalehan, berpakaian sederhana, tidak tampak seperti kiyai atau ulama besar atau tidak mau dipanggil dengan gelaran-gelaran kehormatan; Kiyai; Habib; dll. Hal tersebut demi menjaga kebersihan niat dan hatinya agar tidak condong kepada selain Allah SWT.
Ini bukan berarti seorang ulama/salik tidak diperkenankan untuk memakai pakaian yang bagus dan terhormat, namun ini tergantung dari kondisi hati dan jiwa si salik tersebut untuk menempatkan niatnya.
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Malliki al-Hasani (seorang ulama Ahlussunnah wal Jamaah Makkah) pernah ditanya oleh muridnya kenapa selalu berpakaian bagus dalam kesehariannya? Beliau menjawab bahwa sikap seperti ini tidak lain hanyalah untuk menghormati ilmu yang ia miliki.
Pada maqam seperti itu, seorang ulama juga harus memahami bahwa dia adalah seorang panutan bagi murid-muridnya, namun maqam hati seperti ini tidaklah mudah didapatkan kecuali orang-orang yang sudah sampai pada level kerendahan hati yang tinggi.
Seorang bijak pernah berkata: “Makin dalam engkau menguburkan dirimu di dalam lapisan bumi, makin menjulang batinmu di lapisan angkasa.”
Dalam sebuah hadis qudsi, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seringkali ada orang yang rambutnya tampak kacau, mukanya berdebu, dan bajunya jelek, sementara orang-orang ingin menjauh darinya karena pemandangan lahiriahnya yang buruk; tetapi jika ia bersumpah dan meminta sesuatu kepada Tuhan, maka Dia akan langsung memenuhinya.
Dari sini, hendaklah kita mengusahakan agar ikhlas dalam segala hal yang kita kerjakan. Jika keikhlasan itu tak bisa diraih kecuali dengan menjauh dari perhatian orang ramai, maka lakukanlah! Sebab, kebanyakan orang tidak bisa terhindar dari perasaan jumawa di depan orang lain.
0 komentar