Siti Rabiah Al Adawiyah

5/26/2016

Siti Rabiah Al Adawiyah

Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah salah seorang  perempuan Sufi yang  mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah adalah perempuan pembebas dari al-Atik suku Qays bin Adi, dimana ia lebih terkenal dengan sebutan al-Adawiyah atau al-Qaysiyah atau juga disebut al-Bashriyah, tempat dimana ia dilahirkan. Sayangnya tidak ada seorang penulis pun, yang sangat dekat dengan masa kehidupannya dan mengungkap kisah tentang awal kehidupannya sebagai bahan, kecuali hanya karya ‘Aththar yaitu Tadzkiratul Auliya’ (Memoir of the Saints). Banyak dari apa yang ia kisahkan tersebut sebagai karya legendaris asli. Meskipun karya itu mungkin, atau dalam beberapa hal sama sekali tidak masuk akal memberikan gambaran-gambaran kenyataan sejarah. Paling tidak memberikan gambaran kepribadian dan keagungan namanya.[1]

Dikisahkan dalam proses kelahirannya, pada malam itu tidak ada minyak dan penerangan didalam rumahnya, tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya. Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam.

Tetapi meskipun telah terjadi peristiwa pertanda baik itu, ‘Aththar menceritakan kemalangan yang terjadi dalam keluarga ini, dan pada saat Rabi’ah menjelang dewasa ayah dan ibunya meninggal. Jadilah ia seorang anak yatim piatu. Kelaparan yang melanda Basrah membuat saudaranya terpencar terpisah. Suatu hari, ketika ia sedang berjalan ke luar kota, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk, lalu menarik serta menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham.

Suatu malam, tuannya terbangun dari tidurnya, tampak melalui jendela kamarnya, Rabi’ah sedang sujud beribadat. Ketika Rabi’ah masih asik dalam kelelapan ibadatnya, tampak oleh tuannya sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa sehelai tali pun, dan lentera itu menerangi seluruh rumah. Melihat peristiwa aneh itu, majiakan Rabi’ah merasa ketakutan, ia bangkit lalu kembali ke tempat tidurnya semula dan duduk tercenung hingga fajar menyingsing. Kemudian ia memanggil Rabi’ah untuk bicara secara baik-baik dan kemudian membebaskan budaknya itu pergi.[2]

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan. Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Didalam riwayat lain dikisahkan ketika Rabi’ah sedang shalat diatas tikar dari pelepah kurma, terdapat lidi yang mencolok matanya, namun ia tidak merasakan apa-apa hingga selesai shalatnya. Karena begitu mendalam cintanya pada illahi, sehingga tidak ada satupun di dunia ini yang membimbangkan atau mengalihkan perhatiannya pada Tuhan, sehingga duri yang menusuk matanya tidak terasa sedikit pun baginya. Inilah jalan sufi yang ditempuh oleh Rabi’ah dalam mendekatkan diri kepada Allah. [3]

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah. Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

 http://fakorrosyik.blogspot.co.id/

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

pesan di sini ...

Nama

Email *

Pesan *

Kata mutiara

Allah Masih Memberiku Waktu " Hari ini aku masih terbangun karena Allah masih memberiku waktu di dunia, memberiku waktu untuk hidup agar aku dapat menghapuskan dosa-dosaku dengan melakukan kebaikan"