Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal
pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah salah seorang perempuan
Sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada
Allah. Rabiah adalah perempuan pembebas dari al-Atik suku Qays bin Adi, dimana
ia lebih terkenal dengan sebutan al-Adawiyah atau al-Qaysiyah atau juga disebut
al-Bashriyah, tempat dimana ia dilahirkan. Sayangnya tidak ada seorang penulis
pun, yang sangat dekat dengan masa kehidupannya dan mengungkap kisah tentang
awal kehidupannya sebagai bahan, kecuali hanya karya ‘Aththar yaitu Tadzkiratul
Auliya’ (Memoir of the Saints). Banyak dari apa yang ia kisahkan tersebut
sebagai karya legendaris asli. Meskipun karya itu mungkin, atau dalam beberapa
hal sama sekali tidak masuk akal memberikan gambaran-gambaran kenyataan
sejarah. Paling tidak memberikan gambaran kepribadian dan keagungan namanya.[1]
Dikisahkan dalam proses kelahirannya, pada malam itu tidak ada
minyak dan penerangan didalam rumahnya, tidak seorang pun yang berada di
samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha
meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudah jauh
malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang
tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk
menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk
ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang
terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja
dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah,
telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail
menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak
membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya
apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas
bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan
seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala
gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul
hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan
bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang
mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa
pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya.
Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar
untuk satu rakaat yang ditinggalkannya. Ketika Ismail mengerjakan seperti yang
diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu,
terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam,
sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu,
kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat
yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam.
Tetapi meskipun telah terjadi peristiwa pertanda baik itu, ‘Aththar
menceritakan kemalangan yang terjadi dalam keluarga ini, dan pada saat Rabi’ah
menjelang dewasa ayah dan ibunya meninggal. Jadilah ia seorang anak yatim piatu.
Kelaparan yang melanda Basrah membuat saudaranya terpencar terpisah. Suatu
hari, ketika ia sedang berjalan ke luar kota, ia berjumpa dengan seorang
laki-laki yang memiliki niat buruk, lalu menarik serta menjualnya sebagai
seorang budak seharga enam dirham.
Suatu malam, tuannya terbangun dari tidurnya, tampak melalui
jendela kamarnya, Rabi’ah sedang sujud beribadat. Ketika Rabi’ah masih asik
dalam kelelapan ibadatnya, tampak oleh tuannya sebuah lentera yang tergantung
di atas kepala Rabi’ah tanpa sehelai tali pun, dan lentera itu menerangi
seluruh rumah. Melihat peristiwa aneh itu, majiakan Rabi’ah merasa ketakutan,
ia bangkit lalu kembali ke tempat tidurnya semula dan duduk tercenung hingga
fajar menyingsing. Kemudian ia memanggil Rabi’ah untuk bicara secara baik-baik
dan kemudian membebaskan budaknya itu pergi.[2]
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani
hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat
Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah,
dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani
hidup kepertapaan. Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan
pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya
mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah
tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang
suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri
masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.
Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian,
kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta
kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’
dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi
ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya
cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
Didalam riwayat lain dikisahkan ketika Rabi’ah sedang shalat diatas
tikar dari pelepah kurma, terdapat lidi yang mencolok matanya, namun ia tidak
merasakan apa-apa hingga selesai shalatnya. Karena begitu mendalam cintanya
pada illahi, sehingga tidak ada satupun di dunia ini yang membimbangkan atau
mengalihkan perhatiannya pada Tuhan, sehingga duri yang menusuk matanya tidak
terasa sedikit pun baginya. Inilah jalan sufi yang ditempuh oleh Rabi’ah dalam
mendekatkan diri kepada Allah. [3]
Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi
yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara
saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari
perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode
asketik Rabiah. Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya
bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang
hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya
untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari
pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak
makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi
masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode
yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah
mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai
Testimony of Belief (Bukti Keimanan).
0 komentar